A. Arti
Imanensi Secara Epistemologi
Imanensi dalam arti tidak
melampaui, imanensi berarti lawan transendensi. Kata imanensi
ini dapat dipergunakan dalam berbagai cara yang berbeda. Dalam epistemologi
imanensi berarti ketergantugan pada kesadaran. Karna itu objek ditegaskan oleh
tindakan mengetahui. Objek senantiasa berada dalam bidang tindakan mengetahui
sedemikian rupa sehingga satu- satunya eksistensi adalah
eksitensi pikiran. Pandangan ini dibela oleh filsafat imanensi atau idealisme
epistemologis ( eksistensi sepadan dengan gagasan atau dengan yang fikirkan).
Para pendukug filsafat umumnya tidak menyatakan bahwa objek berasal dari
kesadaran mutlak.
B.
Ayat Al-Qur’an
yang Menjelaskan Transendensi dan Imanensi Tuhan
Artinya :
“Dan Dia telah menundukkan
matahari dan bulan bagimu yang terus-menerus beredar (dalam orbitnya) dan telah
menundukkan malam dan siang bagimu.”
2. Allah-lah yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana)
yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arasy, dan menundukkan
matahari dan bulan. masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah
mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya
kamu meyakini Pertemuan (mu) dengan Tuhanmu.
A.
Pengertian Dari Transendensi
Ketika
kita bicara tentang zat dan sifat Tuhan, sebenarnya kita telah bicara tentang transendensi
dan imanensi Tuhan, tetapi dari perspektif epistemologi yang berkaitan dengan
kemungkinan manusia untuk mengetahui- Nya. Dalam pasal ini kita akan
membicarakan transendensi dari perspektif lain yaitu ontologis. Pertanyaan utamanya adalah apakah Tuhan berada di luar
atau di dalam alam??
Sebagai contoh matahari dan bumi. Hubungan
bumi dengan matahari sangat erat boleh dikatakan tanpa matahari tidak akan ada
kehidupan di bumi dan bisa saja bumi ini tidak ada. Begitu eratnya, sehingga
terutama pada siang hari kehadiran matahari sangat dirasakan oleh manusia . Ini menggambarkan
imanensi matahari di bumi karena kehadirannya disana yang
begitu intens melalui pancaran sinarnya. Namun kehadiran matahari di muka bumi
ini sekaligus telah mengisyaratkan transendensi matahari. Betapa pun
intensnya kehadiran matahari di muka bumi, itu tidak berarti bahwa matahari hanya
ada atau hadir di bumi ini saja, karena pada saat ia hadir di bumi, itu tidak
berarti, bahwa matahari ini hanya ada di bumi saja melainkan juga berada jauh
melampaui bumi, baik dari sudut jarak maupun ukuran.
Ilustrasi ini dapat memberi kita sebuah cara untuk memahami transendensi dan
imanensi Tuhan, sekalipun tentu saja tidak bisa kita ambil
ini secara harfiah, karena sebenarnya Tuhan berbeda dari yang lainnya.
Di dalam Al-Qur’an
menyatakan bahwa Allah itu “ yang awal” dan “ yang akhir” dan Ia juga “ yang lahir ” dan “ yang batin”
. Sementara Dia yang awal dan yang akhir mengisyaratkan
bahwa Tuhan tidak punya awal dan tidak punya akhir, Dia yang Lahir dan
yang Batin, mengisyaratkan imanensi dan transendensi Tuhan dengan mengatakan bahwa
Tuhan adalah yang lahir, ini berarti bahwa yang lahir ini yakni alam
semesta , tak lain dari pada Tuhan itu sendiri, tetapi dalam arti imajinasi. Maulana Rumi pernah
menggambarkan” alam lahir” sebagai Tuhan dalam penyamaran.
Dan dapat
menggambarkan alam semesta ini sebagai
film dari kebenaran yang di proyeksikan ke dalam sebuah layar. Nah, gambar yang
ada di atas layar tersebut tidak bisa serta merta dikatakan berbeda dengan yang
telah di proyeksikan, tetapi pada waktu yang sama juga tidak
dipandang sama atau identik dengan-Nya.
Karena betapa
pun dekatnya kemiripan diantara keduanya, tetapi ia tetap hanya sebuah bayangan. Ia
adalah derivat, dan Tuhan adalah sumber, sehingga alam bergantung pada-Nya dan tidak
mungkin ada tanpa-Nya. Inilah aspek imanensi Tuhan
di alam. Adapun Tuhan sebagai yang Batin mengisyaratkan bahwa ia adalah Tuhan
Transenden yakni, melampaui batas- batas dunia fisik dan bersifat metafisik
sehingga tidak tampak pada indra manusia. Dengan memiliki kedua aspek ini yakni
Imanensi dan Transendensi .
Ini adalah
tafsir dari Al-Qur’an “ Dia yang Lahir” dan “ Dia yang batin atau tersembunyi”. Bahwa
pendekatan filosofis didasarkan pada penalaran nasional atau akal. Apapun objek
yang didekati secara rasional akan selalu di tempatkan di luar subjeknya.
Demikian juga para filsuf membicarakan Tuhan, maka Tuhan pun di tempatkan
cukup, atau bahkan sangat jauh dari manusia, sebagaiman terlihat pada possisi
Tuhan dalam teori imanensi al Farbi dan Ibnu Sina.
Dalam teori ini, ketika ingin berhubungan dengan Tuhan, maka kita manusia harus
melewati 10 akal yang mengantarai kita dengan-Nya, dan ada
10 akal ini telah menghasilkan langit yang paling tinggi, bintang- bintang tetap dan planet-
planet, maka ini juga berarti bahwa untuk sampai kepada Tuhan,
kita harus melintasi jarak yang sangat jauh melalui langit dan
bintang- bintang yang banyak jumlahnya. Faktor inilah yang
menjelaskan mengapa para filsuf tetap mempertahankan Transendensi yang Illahi. Ketika sufi
membicarakan kesatuan mistik ( ittihad) dengan Tuhan. Ibnu Sina
hanya memilih istilah kontak ( ittishal) dalam menggambarkan hubungan yang bisa dicapai
oleh manusia dengan akal, atau malaikat Jibril.
Ini yang dilakukan Ibnu Sina semata-
mata untuk mempertahankan Transendensi sang Illahi, dalam pandangan para
filsuf, yang Illahi atau metafisik di pandang terpisah ( mujarrodat) dari dunia
fisik. Dan ini semua, seperti dikatakan di atas, dilakukan oleh mereka demi
menjaga Transendensi yang Illahi atau metafisik, terutama Transendensi Tuhan
yang Maha Esa.
B.
Pengertian Dari Imanensi
Kalau para filsuf mewakili
pandangan transendensi Tuhan, para sufi, seperti yang kita lihat, justru
mewakili pandangan imanensi Tuhan . sementara para filsuf memandang Tuhan amat
jauh dari manusia, para sufi justru memandang –Nya sangat dekat, ini terjadi
karena kebanyakan para sufi menggunakan pendekatan intuitif daripada pendekatan rasional. Berbeda dengan kecenderungan akal untuk meruang- ruangkan segala objeknya,
intuisi atau hati justru selalu ingin menyatukan subjek dengan objeknya. Objek yang jauh pun justru di buat sangat
dekat, bahkan menyatu dalam diri sang
subjek. Pendekatan intuitif ini dapat dimengerti
misalnya kalau dikaitkan dengan cinta. Ketika
mencintai sesuatu atau seseorang, maka objek tersebut selalu terasa dekat
dihati, tidak peduli berapa jauh jarak ruangnya. Tak heran bila Maulana Rumi,
misalnya, menyamakan hati atau intuisi ini dengan cinta.
Melalui pendekatan intuitifnya, para sufi
mengungkapkan perasaan dekatnya dengan Tuhan. Tuhan tidak dipandang lagi
sebagai sesuatu yang berada diluar dirinya, melainkan justru berada di lubuk
hati mereka yang terdalam. Misalnya, setelah melakukan pencarian yang intens
tentang Tuhan, Rumi merasa terperanjat ketika menemukan Tuhan yang dia
cari-cari selama ini dari hatinya yang terdalam.
Dalam
salah satu puisinya Rumi menunjukkan ide imanensi Tuhan, yakni bahwa Tuhan
amatlah dekatnya, bahkan boleh dikatakan bersatu dengan manusia. Ia
tidaklah jauh seperti yang digambarkan oleh
para filsuf. Tentu saja pandangan mereka mendapat dukungannya dalam Al-Qur’an,
yang mengatakan: “Apabila hamba-Ku bertanya tentang Aku, katakan bahwasanya
Aku ini dekat (QS. 2 : 186). Bahkan dalam ayat yang lain dikatakan bahwa
Allah itu “lebih dekat kepada manusia daripada urat nadi lehernya” (QS.
56 : 85).
Imanensi
Tuhan terlihat bukan hanya pada ajaran Maulana Rumi, tetapi terefleksi juga
pada karya-karya mistik lainnya seperti Abu Yazid al-Bustami, Abu Manshur al-Hallaj, maupun pada Muhy al-Din Ibn ‘Arabi.
Abu Yazid al-Bustami terkenal dengan konsep ittihadnya yang membicarakan
persatuan mistik antara dia dan Tuhannya. Dalam
konsep ini seorang hamba digambarkan layaknya seekor burung yang terbang
mendekati Rajanya. Dan setelah proses yang panjang dan intens, akhirnya ia
menyatu, setelah mengalami fana’, dengan Tuhan dalam ke-baqa’-an-Nya. Hal yang
serupa, yakni perjumpaan dengan Tuhan juga terjadi pada diri al-Hallaj, yang
terkenal dengan konsep hulul-nya. Disini dia menggambarkan Tuhan yang turun
kedalam hatinya, kemudian bersatu dengannya. Ketika itu terjadi, hancurlah
dirinya kemudian bersatu dalam kehadiran-Nya. Pada saat itulah dia mengatakan,
“Ana al-Haqq”, “Aku adalah Kebenaran (Tuhan). Sedangkan Ibn ‘Arabi
terkenal dengan konsep Wahdat al-Wujud-nya, dia mengatakan bahwa Allahlah
satu-satunya wujud yang nyata atau yang benar-benar ada, sedangkan alam dan
seisinya hanyalah bayang-bayang, yang wujudnya hanyalah semu dan relatif. Di sini
Ibn ‘Arabi percaya bahwa manusia bukan hanya dipersatukan dengan Tuhan, tetapi
manusia adalah satu dengan-Nya, karena hanya Dia sajalah yang
betul-betul ada. Kesadaran akan kesatuan ini, menurut Maulana Rumi, hanaya bisa
dicapai melalui cinta yang intens bahkan cinta mabuk kepayang kepada Tuhan.
Beliau pernah berkata, “Bagimu, yang ada adalah kegandaan dunia, bagi pencinta,
dua dunia melebur menjadi satu.