Selasa, 01 Januari 2019

PENGERTIAN TRANSENDENSI DAN IMANENSI

penahkah kalian mendengar makna transendensi atau imanensi??? baiklah disini saya akan mengulas sedikit apa yanng saya ketahui tentang transendensi dan imanensi,, simak baik-baik kawan,,,



A.  Arti Imanensi Secara Epistemologi
 Imanensi dalam arti tidak melampaui, imanensi berarti lawan transendensi. Kata imanensi ini dapat dipergunakan dalam berbagai cara yang berbeda. Dalam epistemologi imanensi berarti ketergantugan pada kesadaran. Karna itu objek ditegaskan oleh tindakan mengetahui. Objek senantiasa berada dalam bidang tindakan mengetahui sedemikian rupa sehingga satu- satunya eksistensi adalah eksitensi pikiran. Pandangan ini dibela oleh filsafat imanensi atau idealisme epistemologis ( eksistensi sepadan dengan gagasan atau dengan yang fikirkan). Para pendukug filsafat umumnya tidak menyatakan bahwa objek berasal dari kesadaran mutlak.
B.   Ayat Al-Quran yang Menjelaskan Transendensi dan Imanensi Tuhan
 
Artinya :
            “Dan Dia telah menundukkan matahari dan bulan bagimu yang terus-menerus beredar (dalam orbitnya) dan telah menundukkan malam dan siang bagimu.” 

2. Allah-lah yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan. masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini Pertemuan (mu) dengan Tuhanmu.



A.  Pengertian Dari Transendensi
           
            Ketika kita bicara tentang zat dan sifat Tuhan, sebenarnya kita telah bicara tentang transendensi dan imanensi Tuhan, tetapi dari perspektif epistemologi yang berkaitan dengan kemungkinan manusia untuk mengetahui- Nya. Dalam pasal ini kita akan membicarakan transendensi dari perspektif lain yaitu ontologis. Pertanyaan  utamanya adalah apakah Tuhan berada di luar atau di dalam alam??
           
             Sebagai contoh matahari dan bumi. Hubungan bumi dengan matahari sangat erat boleh dikatakan tanpa matahari tidak akan ada kehidupan di bumi dan bisa saja bumi ini tidak ada. Begitu eratnya, sehingga terutama pada siang hari kehadiran matahari sangat dirasakan oleh manusia . Ini menggambarkan imanensi matahari di bumi karena kehadirannya disana yang begitu intens melalui pancaran sinarnya. Namun kehadiran matahari di muka bumi ini sekaligus telah mengisyaratkan transendensi matahari. Betapa pun intensnya kehadiran matahari di muka bumi, itu tidak berarti bahwa matahari hanya ada atau hadir di bumi ini saja, karena pada saat ia hadir di bumi, itu tidak berarti, bahwa matahari ini hanya ada di bumi saja melainkan juga berada jauh melampaui bumi, baik dari sudut jarak maupun ukuran. Ilustrasi ini dapat memberi kita sebuah cara untuk memahami transendensi dan imanensi Tuhan, sekalipun tentu  saja tidak bisa kita ambil ini secara harfiah, karena sebenarnya Tuhan berbeda dari yang lainnya.
           
            Di dalam Al-Quran menyatakan bahwa Allah itu “ yang awal” dan “ yang akhir”  dan Ia juga “ yang lahir ” dan “ yang batin” . Sementara Dia yang awal dan yang akhir mengisyaratkan bahwa Tuhan tidak punya awal dan tidak punya akhir, Dia yang Lahir dan yang Batin, mengisyaratkan imanensi dan transendensi Tuhan dengan mengatakan bahwa Tuhan adalah yang lahir, ini berarti bahwa yang lahir ini yakni alam semesta , tak lain dari pada Tuhan itu sendiri, tetapi dalam arti imajinasi. Maulana Rumi pernah menggambarkan” alam lahir” sebagai Tuhan dalam penyamaran.
                                    Dan dapat menggambarkan  alam semesta ini sebagai film dari kebenaran yang di proyeksikan ke dalam sebuah layar. Nah, gambar yang ada di atas layar tersebut tidak bisa serta merta dikatakan berbeda dengan yang telah di proyeksikan, tetapi pada waktu yang sama juga tidak dipandang sama atau identik dengan-Nya.
            Karena betapa pun dekatnya kemiripan diantara keduanya, tetapi ia tetap hanya sebuah bayangan. Ia adalah derivat, dan Tuhan adalah sumber, sehingga alam bergantung pada-Nya dan tidak mungkin ada tanpa-Nya. Inilah aspek imanensi Tuhan di alam. Adapun Tuhan sebagai yang Batin mengisyaratkan bahwa ia adalah Tuhan Transenden yakni, melampaui batas- batas dunia fisik dan bersifat metafisik sehingga tidak tampak pada indra manusia. Dengan memiliki kedua aspek ini yakni Imanensi dan Transendensi .
           
            Ini adalah tafsir dari Al-Quran “ Dia yang Lahir” dan “ Dia yang batin atau tersembunyi”. Bahwa pendekatan filosofis didasarkan pada penalaran nasional atau akal. Apapun objek yang didekati secara rasional akan selalu di tempatkan di luar subjeknya. Demikian juga para filsuf membicarakan Tuhan, maka Tuhan pun di tempatkan cukup, atau bahkan sangat jauh dari manusia, sebagaiman terlihat pada possisi Tuhan dalam teori imanensi al Farbi dan Ibnu Sina. Dalam teori ini, ketika ingin berhubungan dengan Tuhan, maka kita manusia harus melewati 10 akal yang mengantarai kita dengan-Nya, dan ada 10 akal ini telah menghasilkan langit yang paling tinggi, bintang- bintang tetap dan planet- planet, maka ini juga berarti bahwa untuk sampai kepada Tuhan, kita harus melintasi jarak yang sangat jauh melalui langit dan bintang- bintang yang banyak jumlahnya.  Faktor inilah yang menjelaskan mengapa para filsuf tetap mempertahankan  Transendensi yang Illahi. Ketika sufi membicarakan kesatuan mistik ( ittihad) dengan Tuhan. Ibnu Sina hanya memilih istilah kontak ( ittishal) dalam menggambarkan  hubungan yang bisa dicapai oleh manusia dengan akal, atau malaikat Jibril.
Ini yang dilakukan Ibnu Sina semata- mata untuk mempertahankan Transendensi sang Illahi, dalam pandangan para filsuf, yang Illahi atau metafisik di pandang terpisah ( mujarrodat) dari dunia fisik. Dan ini semua, seperti dikatakan di atas, dilakukan oleh mereka demi menjaga Transendensi yang Illahi atau metafisik, terutama Transendensi Tuhan yang Maha Esa.
B.     Pengertian Dari Imanensi
                        Kalau para filsuf mewakili pandangan transendensi Tuhan, para sufi, seperti yang kita lihat, justru mewakili pandangan imanensi Tuhan . sementara para filsuf memandang Tuhan amat jauh dari manusia, para sufi justru memandang –Nya sangat dekat, ini terjadi karena kebanyakan para sufi menggunakan pendekatan intuitif daripada  pendekatan rasional. Berbeda dengan kecenderungan  akal untuk meruang- ruangkan segala objeknya, intuisi atau hati justru selalu ingin menyatukan subjek dengan objeknya.  Objek yang jauh pun justru di buat sangat dekat, bahkan menyatu dalam  diri sang subjek.  Pendekatan intuitif ini dapat dimengerti misalnya kalau dikaitkan dengan cinta. Ketika mencintai sesuatu atau seseorang, maka objek tersebut selalu terasa dekat dihati, tidak peduli berapa jauh jarak ruangnya. Tak heran bila Maulana Rumi, misalnya, menyamakan hati atau intuisi ini dengan cinta.
Melalui pendekatan intuitifnya, para sufi mengungkapkan perasaan dekatnya dengan Tuhan. Tuhan tidak dipandang lagi sebagai sesuatu yang berada diluar dirinya, melainkan justru berada di lubuk hati mereka yang terdalam. Misalnya, setelah melakukan pencarian yang intens tentang Tuhan, Rumi merasa terperanjat ketika menemukan Tuhan yang dia cari-cari selama ini dari hatinya yang terdalam.
Dalam salah satu puisinya Rumi menunjukkan ide imanensi Tuhan, yakni bahwa Tuhan amatlah dekatnya, bahkan boleh dikatakan bersatu dengan manusia. Ia


tidaklah jauh seperti yang digambarkan oleh para filsuf. Tentu saja pandangan mereka mendapat dukungannya dalam Al-Qur’an, yang mengatakan: “Apabila hamba-Ku bertanya tentang Aku, katakan bahwasanya Aku ini dekat (QS. 2 : 186). Bahkan dalam ayat yang lain dikatakan bahwa Allah itu “lebih dekat kepada manusia daripada urat nadi lehernya” (QS. 56 : 85).
                        Imanensi Tuhan terlihat bukan hanya pada ajaran Maulana Rumi, tetapi terefleksi juga pada karya-karya mistik lainnya seperti Abu Yazid al-Bustami, Abu Manshur  al-Hallaj, maupun pada Muhy al-Din Ibn ‘Arabi. Abu Yazid al-Bustami terkenal dengan konsep ittihadnya yang membicarakan persatuan mistik antara dia dan Tuhannya. Dalam konsep ini seorang hamba digambarkan layaknya seekor burung yang terbang mendekati Rajanya. Dan setelah proses yang panjang dan intens, akhirnya ia menyatu, setelah mengalami fana’, dengan Tuhan dalam ke-baqa’-an-Nya. Hal yang serupa, yakni perjumpaan dengan Tuhan juga terjadi pada diri al-Hallaj, yang terkenal dengan konsep hulul-nya. Disini dia menggambarkan Tuhan yang turun kedalam hatinya, kemudian bersatu dengannya. Ketika itu terjadi, hancurlah dirinya kemudian bersatu dalam kehadiran-Nya. Pada saat itulah dia mengatakan, “Ana al-Haqq”, “Aku adalah Kebenaran (Tuhan). Sedangkan Ibn ‘Arabi terkenal dengan konsep Wahdat al-Wujud-nya, dia mengatakan bahwa Allahlah satu-satunya wujud yang nyata atau yang benar-benar ada, sedangkan alam dan seisinya hanyalah bayang-bayang, yang wujudnya hanyalah semu dan relatif. Di sini Ibn ‘Arabi percaya bahwa manusia bukan hanya dipersatukan dengan Tuhan, tetapi manusia adalah satu dengan-Nya, karena hanya Dia sajalah yang betul-betul ada. Kesadaran akan kesatuan ini, menurut Maulana Rumi, hanaya bisa dicapai melalui cinta yang intens bahkan cinta mabuk kepayang kepada Tuhan. Beliau pernah berkata, “Bagimu, yang ada adalah kegandaan dunia, bagi pencinta, dua dunia melebur menjadi satu.





1 komentar:

arsip saya

Matahari tenggelam yang indah

 Matahari Tenggelam yang Indah Salah satu hal yang sangat aku sukai adalah momen saat matahari tenggelam di ufuk Barat. Adegan ini memberika...