Sabtu, 29 Februari 2020

Pendidikan dan Hubungan Antar Kelompok


PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana yang sistematis dalam upaya memanusiakan manusia. Sosiologi pendidikan adalah ilmu yang mempelajari seluruh aspek pendidikan, baik itu struktur, dinamika, masalah-masalah pendidikan, ataupun aspek-aspek lainnya secara mendalam melalui analisis atau pendekatan sosiologis. Salah satu pokok pembahasan sosiologi pendidikan menurut Nasution (1994) adalah hubungan antar manusia dalam sekolah. Mencakup di dalamnya pola interaksi sosial dan struktur masyarakat di sekolah.
Menurut Ki Hajar Dewantara, Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran dan tubuh anak. Bagian-bagian itu tidak boleh dipisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup, kehidupan dan penghidupan anak yang kita didik sesuai dengan dunianya dan dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya
Dalam berinteraksi manusia cenderung  akan membentuk kelompok-kelompok yang terbentuk di dalam masyarakat. Kelompok-kelompok ini merupakan bentuk kehidupan yang nyata, karena peran kelompok dalam kehidupan sangatlah penting, individu dapat menghabiskan waktunya dengan berkegiatan, berinteraksi dan melakukan berbagai hal dengan menjadi bagian dalam kelompok. Dengan banyaknya sejumlah kelompok yang terbentuk di masyarakat, maka sangat besar kemungkinan untuk terjadinya interaksi antar kelompok satu dengan yang lainnya.
Dengan demikian, dalam makalah ini pemakalah akan menguraikan bagaimana pendidikan dan hubungan antar kelompok itu sebenarnya. Menyangkut tentang prasangka dalam hubungan antar  kelompok, struktur hubungan antar kelompok di sekolah, usaha-usaha memperbaiki hubungan antar kelompok di sekolah, dan dasar-dasar bagi pendidikan antar golongan.
B.     Rumusan Masalah
1.     Bagaimana prasangka dalam hubungan antar kelompok?
2.      Bagaimana pendidikan umum dan hubungan antar kelompok?
3.      Bagaimana struktur hubungan antar kelompok di sekolah?
4.      Bagaimana usaha-usaha memperbaiki hubungan antar kelompok di sekolah?
5.      Bagaimana efektivitas pendidikan antar golongan?
6.      Bagaimana dasar-dasar bagi pendidikan antar golongan?
C.     
1.      Untuk mendeskripsikan prasangka dalam hubungan antar kelompok.
2.   Untuk mendeskripsikan pendidikan umum dan hubungan antar kelompok.
3.   Untuk mendeskripsikan struktur hubungan antar kelompok di sekolah.
4. Untuk mendeskripsikan usaha-usaha memperbaiki hubungan antar kelompok di   sekolah.
5.   Untuk mendeskripsikan efektivitas pendidikan antar golongan.
6.   Untuk mendeskripsikan dasar-dasar bagi pendidikan antar golongan.


BAB II
A.    PENDIDIKAN DAN HUBUNGAN ANTAR KELOMPOK
1.      Pengertian Prasangka
Dalam kamus besar Indonesia prasangka adalah pendapat yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui sendiri. Prasangka merupakan suatu istilah yang mempunyai berbagai makna. Namun dalam kaitannya dengan hubungan antar kelompok istilah ini mengacu pada sikap bermusuhan yang ditunjukan terhadap suatu kelompok tertentu atas dasar dugaan bahwa kelompok tersebut mempunyai ciri yang tidak menyenangkan.
Prasangka berarti membuat keputusan sebelum mengetahui fakta yang relevan mengenai objek tersebut. Awalnya istilah ini merujuk pada penilaian berdasarkan Ras seseorang sebelum memiliki Informasi yang relevan yang bisa dijadikan dasar Penilaian tersebut. Selanjutnya prasangka juga diterapkan pada bidang lain selain ras. Pengertiannya sekarang tidak masuk akal yang tidak terpengaruh oleh alasan rasional.
John E. Farley mengklarifikasi prasangka terbagi menjadi tiga kategori :
1.      Prasangka Kognitif, merujuk pada apa yang dianggap benar
2.      Prasangka Afektif, merujuk pada apa yang disukai dan tidak disukai
3.       Prasangka Konatif, merujuk pada bagaimana kecenderungan seseorang dalam bertindak
            Bermacam-macam teori yang telah dikemukakan bahwa prasangka adalah sebagai sesuau yang wajar yang sendirinya timbul bila terjadi hubungan antara dua kelompok yang berlainan. Manusia sadar akan kesamaan dalam kalangannya sendiiri dan merasa solider dengan kelompok itu.[1]
a.      Prasangka sebagai sesuatu yang dipelajari
            Teori ini memandang prasangka sebagai hasil proses belajar seperti halnya dengan sikap-sikap lain yang terdapat pada manusia. Sikap senang atau tidak senang terhadap golongan lain adalah hasil pengalaman pribadi yang  berlangsung lama atau berdasarkan pengalaman yang traumatis.
b.      Prasangka sebagai alat mencapai tujuan praktis
            Golongan yang dominan ingin menyingkirkan golongan minoritas dari dunia persaingan. Sikap itu terdapat dikalangan penjajah terhadap bangsa yang dijajah agar dapat dieksploitasinya. Untuk membenarkan diri mereka mencari alasan penindasan itu dengan jalan rasionalisasi.
c.       Prasangka sebagai aspek pribadi
            Menurut penelitian Murphy dan Likert ada dua orang yang mempunyai pribadi yang berprasangka. Orang yang pribadinya berprasangka menaruh prasangka terhadap berbagai hal. Maka kepribadian merupakan suatu faktor penting bila kita ingin memahami hakikat dan perkembangan prasangka.
d.       Pendekatan multi dimensional
            Dalam berbagai faktor yang dapat menimbulkan prasangka dapat diambil kesimpulan bahwa untuk memahami prasangka harus kita gunakan pendekatan yang multi dimensional. Prasangka dalam hubungan antar-kelompok perlu kita ketahui bahwa prasangka bukanlah suatu instink yang dibawa lahir, melainkan sesuatu yang dipelajari. Karena prasangka itu dipelajari, maka prasangka itu dapat diubah atau dikurangi bahkan dapat dicegah timbulnya.
  1. Pendididkan Umum dan hubungan antar kelompok
            Menurut penelitian, maka semakin tinggi pendidikan seseorang makin kurang prasangkanya terhadap golongan lain, makin toleran sikapnya terhadap golongan minoritas. Mereka yang berpendidikan universitas ternyata menunjukkan sikap yang toleran. Namun, ada tidaknya prasangka tidak semata-mata ditentukan oleh pendidikan saja. Pendidikan dapat merupakan faktor yang menentukan kedudukan, rasa harga diri, rasa ketentraman hidup yang turut menentukan prasangka. Ada kemungkinan mengurangi, tetapi dapat pula memperkuat prasangka.
  1. Struktur hubungan antar kelompok di sekolah
            Sekolah biasanya terlampau memusatkan perhatian kepada pendidikan akademis. Salah satu aspek yang perlu mendapat perhatian ialah memupuk hubungan sosial dikalangan murid. Program pendidikan antar murid-murid, antar golongan ini bergantung pada struktur sosial murid-murid. Ada tidaknya golongan minoritas dikalangan mereka mempengaruhi hubungan antar kelompok itu.Kebanyakan negara mempunyai penduduk multi rasial, menganut agama yang berdeba-beda, dan mengikuti adat kebiasaan yang berlainan. Perbedaan golongan dapat juga disebabkan oleh perbedaan kedudukan sosial dan ekonomi.
Murid-murid disekolah sering menunjukan perbedaan asal kesukaan, agama, adat istiadat, dan kedudukan sosial. Berdasarkan perbedaan-perbedaan itu timbul golongan minoritas dikalangan murid-murid. Yang tersembunyi ataupun yang nyata.Guru-guru hendaknya memperhatikan struktur golongan-golongan dikalangan murid-muridnya. Apakah anak-anak yang berasal dari daerah tertentu, yang berasal dari keturunan asing atau yang berlainan agama diperlakukan dengan cara yang wajar atau tidak wajar oleh teman-temannya. Karena dengan perlakuan yang demikian anak-anak yang didiskriminasikan akan merasa dirinya asing dan tak diterima sebagai anggota penuh dari masyarakat sekolahnya. Tiap sekolah mempunyai pola hubungan tertentu antar guru, antar murid, antar guru dengan murid, yaitu stuktur sosial yang mempengaruhi sikap dan kelakuan murid. Kelompok dalam sekolah dapat dikategorikan berdasarkan antara lain sebagai berikut
1.      Status sosial orang tua murid
Tidak dapat dipungkiri, status sosial dapat mempengaruhi pergaulan seseorang didalam lingkungan ataupun luar sekolah.
2.      Hobi/minat/kegemaran
Kesamaan dalam hal yang disukai seperti hobi, minat akan cenderung intensif bersama kelompok yang sama.
3.         Intelektualitas
Ada juga peluang terjadi kelompok-kelompok berdasarkan tingkatan intelektualitas mereka, meskipun tidak dominan. Orang pintar karena biasanya suka membaca lebih berada diperpustakaan dari pada dikantin. Kehidupan mereka disekolah benar-benar padat dengan kegiatan akademis.
4.         Jenjang Kelas
                        Perbedaan jenjang kelas ini merupakan faktor dominan. Biasanya senior merasa lebih tua dan berhak berbuat sesuka hati kepada junior atau adik kelas. Dan junior merasakan ketakutan dengan senior lebih memilih bergaul dengan teman sebaya. Menyebabkan pergaulan mereka menjadi kotak-kotak dan kurang harmonis.
5.          Agama
Ada peluang terbentuknya kelompok karena persamaan agama. Kegiatan perayaan dan peribaratan agama yang mereka anut sering mempertemukan mereka dalam kebersamaan dan kepemilikan. Namun, hal ini bukanlah faktor dominan dikalangan anak sekolahan.
6.      Asal Daerah
Kesamaan asal daerah juga memberikan peluang bagi ter-bentuknya kelompok disekolah. Namun, bukan juga merupakan faktor dominan.
  1. Kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat
            Kelompok sosial dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bentuk. Hal ini sangat bergantung dari sudut pandang ahli yang bersangkutan. Ada yang memandang dari proses terbentuknya, kekuatan ikatan emosional da nada yang membaginya berdasarkan banyaknya jumlah anggota kelompok.
1.      William G.Summer mengemukakan adanya  in group atau we group dan out group atau others group atau every body else. Di dalam in group ada asosialisasi ke arah mana tiap-tiap individu anggota kelompok kesetiaan dan solidaritas serta terdapat usaha identifikasi pribadi satu sama lain ke arah adanya rasa persahabatan, kerjasama, rasa tanggung jawab, terutama disaat mendesak dan gawat.
2.      John L. Gillin membagi kelompok atas dasar fungsional, yaitu:
a.       Kelompok persamaan darah
b.      Kelompok berdasarkan karakteristik jasmaniah
c.       Kelompok dengan struktur medan yang kuat dimana setiap individu anggota kelompok merasa mempunyai medan sosial yang kuat dan permanent.[2]
5.      Usaha-Usaha Memperbaiki Hubungan Antar Kelompok Di Sekolah
Menurut penelitian, makin tinggi pendidikan seseorang makin kurang prasangkanya terhadap golongan lain, makin toleran sikapnya terhadap golongan minoritas. Mereka yang berpendidikan universitas ternyata menunjukkan sikap yang paling toleran. Namun ada tidaknya prasangka tidak semata-mata ditentukan oleh pendidikan saja. Pendidikan dapat merupakan faktor yang menentukan kedudukan, rasa harga diri, rasa ketentraman hidup yang turut menentukan prasangka. Ada kemungkinan mengurangi, tetapi dapat pula memperkuat prasangka. Setiap sekolah harusnya memperhatikan hubungan anta -murid dan antar kelompok, terlebih jika di dalamnya terdapat golongan minoritas. Namun dalam prakteknya, sekolah sendiri belum sepenuhnya mampu mengatasi sikap prasangka yang telah tertanam di dalam masyarakat, namun ada beberapa hal yang dapat diusahakan oleh sekolah, diantaranya:
  1. Sekolah dapat mengunggah nilai-nilai dan sikap anak-anak secara individual, rasa keadilan, rasa keagamaan yang mengemukakan kesamaan manusia di hadapan tuhanya. Kemudian melihat nilai-nilai itu dalam hubunganya dengan orang-orang yang dianggapnya rendah, licik, asing dan sebagainya. Dapat dilakukan dengan pemberian informasi, diskusi kelompok, dan hubungan pribadi.
  2. Menekankan kepada anak-anak bahwa perbedaan-perbedaan di kalangan manusia bukanlah disebabkan oleh pembawaan biologis, melainkan dipelajari dengan lingkungan kebudayaan masing-masing.
  3. Memberikan informasi tentang sumbangan minoritas dalam masyarakat. Orang cina, india, arab yahudi dan bangsa-bangsa lain telah memberikan jasa yang besar kepada umat manusia dan keturunan mereka. Begitu juga dengan suku bangsa Tanah Air Indonesia, turut serta dalam memerdekakan Indonesia.
  4. Mengajarkan bahwasanya, Agama dapat dijadikan pegangan untuk memandang semua manusia sama di hadapan Tuhanya. Seperti dalam UUD 1945 mengakui hak asasi manusia tidak memandang dari suku, ras dan agama.
  5. Guru dapat mengemukakan contoh tokoh-tokoh besar yang menunjukkan toleransi besar terhadap sesama manusia. Membuka kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengadakan hunbungan atau pergaulan di antara murid-murid dari berbagai golongan.
  6. Menggunakan sosiodrama. Peristiwa yang terjadi dalam masyarakat bisa dibawa ke dalam kelas untuk dimainkan peranya oleh golongan yang minoritas, agar lebih memahami golongan minoritas.
  7. Menggalakkan kegiatan ekstrakurikuler Kegiatan ekstrakurikuler bisa melibatkan banyak orang dengan berbagai latar belakang murid yang berbeda. Terjalinnya komunikasi dan kerjasama diantara mereka menumbuhkan kebersamaan yang mendalam. Hal ini dapat memecahkan sekaligus meredam masalah seputar gap antara kelompok sosial.[3]
6.      Efektivitas Pendidikan Antar Golongan
            Usaha-usaha perbaikan antar kelompok di atas, didasarkan atas anggapan atau asumsi tertentu,  di antaranya:
  1. Bahwa prasangka disebabkan oleh kurangnya pengetahuan.  Informasi yang keliru dapat menimbulkan atau memperdalam prasangka. Oleh karnanya pemberian informasi yang detail dapat membantu untuk menghilangkan sebuah prasangka, walaupun tak tak menjamin berubahnya sikap seseorang terhadap golongan lain
  2. Pengalaman di sekolah dapat mengubah kelakuanya di luar sekolah dan  situasi-situasi lain.
  3. Hunbungan pribadi dan anggota kelompok lain dapat mengurangi prasangka. Hal inipun bergantung pada hubungan yang terjadi.
  4. Kontak antara dua golongan tidak akan membawa perubahan bila dipertemukan dua orang yang sesuai dengan stereotip tiap golongan.
             Perlu kita sadari bahwa sekolah hanyalah salah satu dari daya-daya sosial yang mempengaruhi hubungan antar golongan. Pendidikan dan pengaruh yang diperolah anak dari keluarga, teman bermainya, kelompoknya sering lebih kuat dan membuat sekolah hampir tak berdaya. Untuk menghilangkan prasangka terhadap golongan lain, seluruh masyarakat harus turut serta, termasuk pemerintah yang harus berusaha meniadakan segala macam bentuk diskriminasi, kalaupun masih ada. Guru-guru harus menjadi model pribadi yang toleran dalam ucapan maupun perbuatanya.
7.      Dasar-dasar bagi pendidikan antar golongan
Program-program tentang hubungan antar golongan dapat dilakukan menurut pola pelajaran lainnya, yakni dengan menyampaikan informasi seperti pelajaran sejarah, geografi, dan lain-lain. Namun kita dapat bertanya apakah pendidikan itu tidak sebaiknya dikaitkan dengan berbagai teori tentang prasangka.
Bila kita anggap bahwa prasangka disebabkan oleh rasa frustrasiagres, seperti terdapat dalam pribadi otoriter, maka perlu diperhatikan pendidikan anak dalam rumah tangga sejak kecil. Bila kepribadian yang serupa itu dibiarkan terus berkembang, ada kemungkinan ia hanya dapat kesembuhan dengan pertolongan ahli psikiatri.
Bila kita anggap bahwa prasangka disebabkan oleh persaingan dalam mencari keuntungan, status, kekuasaan yng terdapat dalam sistem politik ekonomi, maka di sekolah dapat diajarkan bahwa prestasi seseorang ditentukan oleh usaha dan kemampuannya, yang bagi setia orang mempunyai batas-batas tertentu. Sejauh kesanggupannya sebaiknya setiap orang harus berusaha sekeras mungkin dan jangan mempermasalahkan orang lain atau merasa cemburu atas keberhasilan orang lain. Harus diakui bahwa prasangka yang ditimbulkan oleh persaingan ekonomi di dalam masyarakat dapat melumuhkan usaha sekolah.
Prasangka dapat pula menjadi aspek kebudayaan yang diperoleh melalui proses sosialisasi, melalui situasi-situasi yang dihadapi anak dalam hidupnya. Bila lingkungan itu menunjukkan rasa prasangka terhadap golongan lain, maka dapat diharapkan anak itu akan berbuat sesuai dengan lingkungannya. Sekolah dapat memberikan pelajaran agar anak tidak berprasangka, namun apakah akan terjadi transfer ke dalam situasi-situasi lain di luar sekolah menjadi pertanyaan, karena kelakuan akan bertentangan dengan yang lazim dilihatnya di dalam masyarakat. Hanya dengan penuh keyakinan dan keberanian seorang dapat bertindak menurut cara yang berlawanan dengan kelakuan umum.
Di sekolah dapat dibentuk perkumoulan siswa yang dapat dijadikan model hubungan antar kelompok. Tentu saja sekolah mendapatkan dukungan sepenuhnya dari Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila yang mengemukakan kesamaan hak bagi seluruh umat manusia.



BAB III
KESIMPULAN
Prasangka dalam hubungan antar kelompok dapat dipahami sesuatu yang dipelajari, sebagai alat mencapai tujuan praktis, sebagai aspek pribadi dan pendekatan pendekatan multi dimensional. Makin tinggi pendidikan seseorang makin kurang prasangkanya terhadap golongan lain, makin toleran sikapnya terhadap golongan minoritas. Hal ini tidak sepenuhnya menjadi tolok ukur, namun pendidikan dapat membantu menghilangkan sebuah prasangka. Sekolah memegang peran penting dalam hubungan antar siswanya dengan berbagai golongan tertentu. Karna setiap sekolah mempunyai pola hubungan tertentu antar guru, antar murid, antar guru dengan murid, maka sekolah kurang lebih  dapat  mempengaruhi sikap dan kelakuan murid. Sekolah dapat menjadi efektivitas siswa dalam mengurangi prasangkanya.
Usaha-usaha untuk memperbaiki hubungan antar kelompok di sekolah salah satunya antara lain menggugah nilai-nilai dan sikap anak-anak secara individual, rasa keadilan, rasa keagamaan yang mengemukakan kesamaan manusia di hadapan Tuhan. Pendidikan yang efektif adalah pelaksanaan pendidikan di mana hasil yang dicapai sesuai dengan rencana atau program yang telah ditetapkan sebelumnya. Sekolah merupakan lembaga yang efektif untuk mengurangi prasangka yang tidak dapat didukung dengan bukti-bukti yang meyakinkan.  Program-program tentang hubungan antar-golongan dapat dilakukan menurut pola pelajaran yakni dengan menyampaikan informasi seperti pelajaran sejarah, geografi, dan lain lain.
















Daftar Pustaka
Dr. Zaitun, Sosiologi Pendidikan (Teori dan Aplikasinya), Kreasi Edukasi:Pekanbaru, Cet ke 16
Ahmadi, Abu. 1991. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta
Nasution, S. 1995. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara



[1] Nasution. S, SosiologiPendidikan,.(Jakarta: Bumi Aksara, 2004) hal. 56.

[2] Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan ,( Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hlm.21
[3] Dr. Zaitun, Sosiologi Pendidikan (Teori dan Aplikasinya), Kreasi Edukasi:Pekanbaru, Cet ke 16 hal 52

Minggu, 16 Februari 2020

FAKTOR- FAKTOR YANG MENYEBABKAN KALIGRAFI BERKEMBANG CEPAT






FAKTOR- FAKTOR YANG MENYEBABKAN KALIGRAFI BERKEMBANG PESAT
            Selain eratnya kaitan antara al Quran dan perkembangan gaya kaligrafi, ada beberapa faktor lain yang menyebabkan kaligrafi dapat berkembang pesat dan menyebar demikian merata di dunia Islam. Faktor tersebut mencakup tiga hal pokok:
1.      Pengaruh ekspansi kekuasaan Islam. Setidaknya ada tiga hal berkaitan dengan ekspansi kekuasaan Islam, yang setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW segera meluas jauh ke luar jazirah Arabia.
2.      Peranan raja dan elit sosial. Pesatnya perkembangan kaligrafi Islam sangat erat kaitannya dengan dukungan dan fasilitas yang diberikan oleh raja dan kaun elite sosial, yang memungkinkan seniman muslim mengembangkan kreativitasnya.
3.      Pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan. Minat terhadap ilmu pengetahuan yang telah tumbuh sejak masa Daulah Umayyah mengalami perkembangan luar biasa pada masa berikutnya.  Pada masa ini telah kertas telah ada yang dikenalkan oleh orang Arab dari Cina di Samarkand pada tahun 133 H/751 M. Seiring dengan munculnya kertas, maka berkembang pula kreasi manusia yang lebih leluasa. Pemakaian kertas segera meluas ke berbagai kota Islam dan merupakan salah satu sebab utama perkembangan tulisan kursif ornamental.
Peran dan Kontribusi Seni Kaligrafi terhadap Peradaban Islam
            Konstribusi kaligrafi terhadap peradaban Islam dapat kita lihat dari beberapa aspek, yaitu:
1.      Aspek religius, yaitu dakwah Islam melalui seni kaligrafi.
  Kaligrafi al Quran menyuarakan wahyu Islam dan sekaligus menggambarkan tanggapan orang-orang Islam terhadap pesan Ilahi. Titik-titik yang ditulis oleh menciptakan pola dasar surgawi tentang kaligrafi al Quran dan juga garis-garis serta kandungan-kandungan hukum alam yang tidak hanya membentuk ruang angkasa, namun juga ruang arsitektur Islam.


Melalui penulisan dan pembacaan huruf-huruf, kata-kata, dan ayat-ayat ini, manusia merasakan bahwa kalimat-kalimat al Quran dalam bentuk kaligrafi bukan sekedar kalimat-kalimat yang memancarkan gagasan, namun juga memancarkan kekuatan dalam diri pembacanya.
2.      Aspek etika, yaitu kesadaran ritual keberagamaan.
 Melalui seni kaligrafi manusia dapat mengetahui hakekat yang maha kuasa. Nilai-nilai al Quran yang diaplikasikan oleh para kaligrafer dapat membawa para pembacanya memahami dan memaknai kehidupan sesuai dengan ayat-ayat yang tertulis dalam kaligrafi.



arsip saya

Matahari tenggelam yang indah

 Matahari Tenggelam yang Indah Salah satu hal yang sangat aku sukai adalah momen saat matahari tenggelam di ufuk Barat. Adegan ini memberika...