ANALISIS PRO DAN KONTRA SISTEM ZONASI DISEKOLAH
1.1
LATAR BELAKANG
Pertemuan
dunia pada September tahun 2015 menyatakan program pembangunan millennium
development goals (MNGs) telah berakhir dan upaya pencapaian pembangunan dunia
dilanjutkan dengan konsep pembangunan sustainable development goals (SDGs)
adalah kesepakan pembangunan baru yang mendorong perubahan- perubahan yang
bergeser ke arah pembangunan berkelanjutan yang mendasarkan hak asasi manusia
dan kesataraan untuk mendorong pembangunan social, ekonomi dan lingkungan
hidup. Salah satu point tujuan dari SDGs yaitu point ke- empat yang berbunyi
quality education atau pendidikan berkualitas dimana konsep dari quality aducation
adalah kualitas pendidikan yang inklusif dan adil, serta meningkatkan
kesempatan belajar yang setara bagi semua.[1]
Pendidikan berkualitas dalam SDGs
juga selaras dengan program nawacita yang dirancang oleh presiden dan wakil
presiden RI, Joko Widodo- Jusuf Kalla, yaitu meningkatkan kualitas pendidikan
dan pelatihan dengan program “Indonesia pintar” namun faktanya, masih terdapat
kesenjangan mutu pendidikan yang menjadi banyak kendala di Indonesia.[2]
Salah satu upaya untuk peningkatan
dan pemerataan kualitas pendidikan di Indonesia yaitu dengan diaplikasikannya
sistem zonasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDP) tahun 2017. Berdasarkan
Permendikbud nomor 17 tahun 2017 bertujuan menjamin penerimaan peserta didik
baru berjalan dengan objektif, akuntabel, transparan, dan tanpa diskriminasi
sehingga mendorong peningkatan akses layanan pendidikan. Sistem zonasi
merupakan sistem yang diberlakukan dengan penentuan zona oleh pemerintah daerah
masing- masing yang wajib menerima calon peserta didik yang berdomisili pada
radius zona terdekat dari sekolah dengan persentase tertentu dari total jumlah
peserta didik yang diterima.[3] Prioritas
calon peserta didik SMP dan SMA yang wajib diterima meliputi:
1.
Jarak
tempat tinggal kesekolah sesuai ketentuan zonasi
2.
Surat
hasil Ujian Nasional
3.
Prestasi
akademik dan non- akademik
Sementara
untuk SD, sistem zonasi menjadi pertimbangan kedua setelah factor minimum usia
masuk sekolah sudah terpenuhi.
Semua sekolah yang diselenggarakan
pemerintahan daerah kecuali SMK wajib menerima peserta didik baru yang tinggal
dizona terdekat dengan sekolah, minimal 90% dari total jumlah peserta didik
yang diterima. Sisanya 10% dari total jumlah peserta didik dibagi menjadi dua
kriteria, yaitu 5% untuk jalur prestasi diluar zona terdekat dari sekolah, dan
5% lagi untuk peserta didik yang mengalami perpindahan domisili atau terjadi
bencana. Selain itu, pemerintah daerah provinsi wajib menerima dan membebaskan
biaya pendidikan bagi peserta didik baru yang berasal dari keluarga ekonomi
tidak mampu yang berdomisili dalam satu wilayah daerah provinsi. Jumlah paling
sedikit 20% dari keseluruhan peserta didik yang diterima[4]
Dalam praktiknya, sistem zonasi PPDB
menuai pro kontra disejumlah daerah. Di kupang, NTT, ratusan orang tua murid
menggelar aksi unjuk rasa di kantor DPRD
NTT dan Dinas Pendidikan NTT, memprotes sistem zonasi PPDB yang menyebabkan
anak mereka tidak diterima di sekolah negeri. Padahal
jarak tempat tinggal dengan sekolah negeri sangat dekat[5].
Aksi serupa terjadi ditangerang, 9 juli 2018, ratusan ratusan orang tua murid menggelar aksi di
depan SMP Negeri 23 Tangerang. Aksi semakin panas ketika Kepala Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan Kota Tangerang, Abduh Surahman hanya memiliki solusi
mendaftar ke sekolah swasta terlebih dahulu selama satu tahun, kemudian pindah
melalui mekanisme mutasi, bukan sistem PPDB[6].
Sejumlah aksi dibeberapa daerah menunjukkan masih adanya permasalah dalam
sistem zonasi PPDB 2018/ 2019. Sistem zonasi belum dapat mengakomodasi semua
calon peserta didik baru. Bahkan calon peserta didik yang tinggal diarea blank
spot (tidak terjangkau zona sekolah) kesulitan masuk sekolah negeri. Terkait
ini, siswa harus bersekolah disekolah swasta karena tidak terakomodasi disekolah
negeri.[7] Hal
ini menunjukkan, pemerintah belum mampu memenuhi amanat Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional Pasal 11 ayat (1) yang menjamin hak yang sama bagi setiap
warga negara untuk mendapatkan pendidikan bermutu.
Penerapan kebijakan sistem zonasi
dalam PPDB 2018/2019 menimbulkan pro kontra. Beberapa perdebatan antara lain:
1.
Prioritas
jarak tempat tinggal calon peserta didik dengan sekolah sebagai penentu utama
PPDB. Pihak yang kontra menilai bahwa prioritas jarak sebagai penentu utama
PPDB masih sulit diterapkan, mengingat jumlah lulusan sekolah dengan
ketersediaan sekolah untuk semua daerah belum seimbang. Akibatnya, beberapa
sekolah menjadi kekurangan calon peserta didik, sementara ada sekolah yang
jumlah pendaftarnya melebih kuota karena berada di zona padat penduduk. Kemendikbud
berpegang pada prinsip pemerataan kualitas pendidikan, artinya anak-anak
Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk mengakses pendidikan yang
bermutu. Sistem zonasi dibuat untuk meratakan sekolah negeri sehingga ke depan
tidak ada lagi sekolah dengan predikat unggulan dan non-unggulan. Selain itu,
sistem zonasi mendekatkan anak dengan lingkungan keluarganya. Hal ini akan
memberikan pengaruh yang baik pada perkembangan anak. Dengan demikian, persoalan utama dalam penerapan sistem zonasi PPDB bukan jarak
antara tempat tinggal dengan sekolah tetapi lebih pada pemerataan kualitas
pendidikan[8]
2.
Dasar
penerapan sistem zonasi. Perbedaan penafsiran terhadap aturan zonasi PPDB
menyebabkan implementasinya tidak sesuai dengan aturan yang ada. Di Yogyakarta,
sistem zonasi PPDB SMP didasarkan pada jarak RW tempat tinggal calon peserta
didik sesuai KK orang tua ke sekolah terdekat.
Namun demikian, sistem ini tidak diterapkan secara penuh dengan tetap
memberikan kuota untuk jalur prestasi bagi siswa dengan nilai tinggi[9]. Berbeda
lagi di Lampung, selain jalur zonasi, PPDB SMA juga dapat melalui jalur mandiri
dengan kuota 5%. Peserta didik yang diterima melalui jalur mandiri wajib
membayar sumbangan sekolah yang besarannya ditentukan masingmasing sekolah[10]. PPDB jalur mandiri ini cukup meresahkan
masyarakat, karena sekolah terkesan dapat dibeli oleh siswa dari keluarga
mampu. Apabila hal ini berlanjut, maka esensi dari sistem zonasi untuk
pemerataan pendidikan tidak akan tercapai.
3.
Penggunaan
Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM). Munculnya SKTM berawal dari ketentuan
sistem zonasi PPDB dengan prioritas jarak yang menyebabkan orang tua calon
peserta didik terutama di luar zonasi mencari berbagai cara agar anaknya dapat
diterima di sekolah yang diinginkan. Jumlah kuota sebesar 5% untuk jalur
prestasi dinilai terlalu kecil untuk siswa dari luar zonasi, sedangkan belum
semua sekolah memiliki fasilitas yang memadai. Akibatnya, kuota 20% untuk
keluarga tidak mampu dianggap sebagai peluang. Jalur SKTM pun muncul dalam
PPDB. Padahal Permendikbud No. 14 Tahun 2018 tentang PPDB tidak mengatur
mengenai jalur SKTM dalam PPDB. Pasal 19 Permendikbud No. 14 Tahun 2018 tentang
PPDB hanya mengatur kuota 20% untuk keluarga tidak mampu yang berdomisili di satu
wilayah daerah provinsi. Terkait hal ini, Komisioner Komisi Perlindungan Anak
Indonesia mengungkapkan temuan berupa 78.065 SKTM palsu di Jawa Tengah.
Penggunaan SKTM sebagai syarat siswa masuk kuota miskin memang sangat rawan
dimanipulasi[11]
sistem zonasi berangkat dari keberpihakan pemerintah terhadap
seluruh elemen masyarakat. Sistem zonasi merupakan salah satu strategi
percepatan pemerataan pendidikan yang berkualitas. Sistem ini diharapkan
menghilangkan “kasta” dalam sistem pendidikan di Indonesia, di mana setiap
elemen masyarakat mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan
yang berkualitas. Penulis setuju penerapan sistem zonasi dalam PPDB, asal
disertai upaya pemerintah untuk memenuhi standar nasional pendidikan di setiap
sekolah. Selain itu, mengingat kondisi geografis setiap daerah yang berbeda,
maka penerapan sistem zonasi perlu disesuaikan dengan kondisi setiap daerah
dengan tetap berpegang pada prinsip mendekatkan jarak tempat tinggal peserta
didik dengan sekolah.
Sistem zonasi sebenarnya
merupakan salah satu upaya pemerintah untuk memastikan proses pemerataan
kualitas pendidikan berjalan dengan baik. Dengan sistem ini diharapkan praktik
jual beli bangku sekolah dapat dihilangkan. Selain itu, sistem zonasi akan memudahkan
pemerintah melakukan pemetaan anggaran pendidikan, populasi siswa, dan tenaga
pendidik. Terkait pro kontra yang ada, solusi perbaikan yang disarankan ke
depan adalah:
1.
Sebelum
menerbitkan kebijakan, pemerintah perlu persiapan matang. Sosialisasi sistem
zonasi harus dilakukan secara masif dan dalam waktu yang panjang sebelum
diterapkan, agar pemerintah daerah dan masyarakat memahami kebijakan tersebut
secara komprehensif. Sistem zonasi bukan hanya tentang jarak, namun lebih jauh
lagi untuk mewujudkan pemerataan kualitas pendidikan di Indonesia.
2.
Mempertimbangkan
ketersediaan jumlah sekolah di setiap zona. Saat ini jumlah sekolah negeri
antara satu wilayah dengan lainnya belum merata. Ada satu zona yang terdapat
banyak sekolah negeri, tetapi zona lain kekurangan sekolah negeri. Oleh karena
itu, pemerintah harus mengevaluasi kembali proyeksi lulusan sekolah. Dari data
ini akan terlihat perbandingan jumlah lulusan sekolah dan ketersediaan sekolah
yang akan digunakan untuk menentukan zonasi. Apabila ditemukan jumlah lulusan
sekolah lebih sedikit dibandingkan ketersediaan penerimaan, maka sebaiknya
dilakukan pelebaran daerah zonasi. Dengan cara ini, calon peserta didik yang
saat ini masih berada di area blank spot akan teratasi.
3.
Kemendikbud
dan Kemendagri perlu berkoordinasi sebelum menerapkan kebijakan baru, sehingga
permasalahan SKTM palsu dapat diantisipasi. Penerbitan SKTM harus selektif
mulai dari proses pembuatan SKTM yang transparan hingga verifikasi, apakah
pemohon SKTM benar-benar dari keluarga ekonomi tidak mampu. Sanksi bagi calon
peserta didik yang menyalahgunakan SKTM juga perlu ditegakkan.
4.
Persepsi
orang tua tentang sekolah unggulan harus mulai diubah, bahwa ke depan semua
sekolah dengan predikat unggulan tidak ada lagi seiring diberlakukannya sistem
zonasi PPDB. Proses pembentukan persepsi diawali dengan kondisi sekolah yang
belum merata dari segi kualitas dan kuantitas.[12]
Kondisi ini diperkuat pengalaman dari orang tua lain yang telah mendaftarkan
anaknya ke suatu sekolah dengan predikat unggulan. Pada akhirnya, tercipta
persepsi orang tua peserta didik mengenai sekolah dengan predikat unggulan dan
non-unggulan. Hal ini kemudian mempengaruhi pola pikir orang tua dalam memilih
sekolah untuk anaknya.[13]
[1]
(http://sdgsindonesia.or.id)
[2]
Global Education Monitoring (GEM) Report Tahun 2016 di Jakarta.
(https://www.cnnindonesia.com).
[3]
(https://www.kemdikbud.go.id).
[4] Ketentuan
sistem zonasi menurut Permendikbud No. 14 Tahun 2018
[5] kompas.
com, 11/7/2018
[6] Kadisdik
Kota Tangerang Disandera Warga, Orangtua Siswa Segel SMPN 23 Kota Tangerang”,
https://www.kabar-banten.com/
kadisdik-kota-tangerang-disanderawarga-orangtua-siswa-segel-smpn23-kota-tangerang/,
diakses 16 Juli 2018.
[7] Penerimaan
Peserta Didik Baru: Blank Spot Muncul Dalam Sistem Zonasi Siswa”, Suara
Pembaruan, 14-15 Juli 2018, hal. 22.
[8] Sistem
Zonasi PPDB Dinilai Hambat Pendidikan Anak", https://regional.kompas.com/
read/2018/07/11/17362241/ sistem-zonasi-ppdb-dinilaihambat-pendidikan-anak,
diakses 13 Juli 2018.
[9] tirto.id,
9/7/2018
[10] radartvnews.com,
26/2/2018
[11] “Kemendikbud:
SKTM Urusan Daerah”, Republika, 14 Juli 2018, hal. 4.
[12] Dinar
Wahyuni, PRO KONTRA SISTEM ZONASI PENERIMAAN PESERTA DIDIK BARU TAHUN AJARAN
2018/2019
[13] Kohler,
Philip. (1993). Manajemen Pemasaran: Analisis, Perencanaan, Implementasi, dan
Kontrol. Jakarta: PT Prehallindo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar